Sabtu, 09 Juni 2012

UJI EFEKTIFITAS MADU SEBAGAI ANTIMIKROBA TERHADAP Salmonella thypi SECARA IN VITRO


BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Madu sejak zaman dahulu dipercaya mempunyai kemampuan sebagai antimikroba, tetapi belum jelas efek antimikrobanya terhadap bakteri Salmonella typhi. Sedangkan akhir-akhir ini banyak ditemukan kasus resistensi bakteri penyebab penyakit demam tifoid ini terhadap berbagai jenis antibiotik yang telah biasa digunakan seperti kloramfenikol, ampisilin, dan kotrimoksazol. Karena hal tersebut peneliti melakukan penelitian ini.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh madu terhadap bakteri Salmonella typhi penyebab penyakit demam tifoid. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik yang dilakukan secara in vitro menggunakan metode dilusi tabung dilanjutkan penggoresan pada Nutrient Agar Plate (NAP). Bahan uji adalah larutan madu dan sampelnya adalah bakteri Salmonella typhi yang diambil dari stok kuman di laboratorium dan dilakukan pengulangan perlakuan sebanyak empat kali. Parameter yang diukur adalah derajat kekeruhan pada tabung dan jumlah koloni yang tumbuh pada NAP.
Untuk memperjelas pertanyaan yang sering muncul dari peneliti yaitu apakah madu dapat digunakan sebagai pengobatan alternatif untuk mengobati penyakit demam tifoid. Maka dari itu diperlukan suatu penelitian untuk mendapatkan dasar teoritis dan bukti-bukti ilmiah tentang penggunaan madu dalam mengobati penyakit demam tifoid. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penelitian mengenai efektifitas madu sebagai antimikroba terhadap bakteri Salmonella typhi penyebab penyakit demam tifoid.
I.2 Tujuan Umum
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk Mengetahui efektifitas madu sebagai antimikroba terhadap bakteri Salmonella typhi.
I.3 Manfaat Penelitian
             Adapun Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
1.    Memberikan informasi kepada masyarakat bahwa madu dapat digunakan sebagai pengobatan alternatif terhadap penyakit demam tifoid.
2.    Ditemukannya bahan antimikroba baru untuk infeksi Salmonella typhi sehingga dapat digunakan sebagai pengganti antibiotika yang sudah tidak sensitif lagi terhadap Salmonella typhi.
3.    Dapat digunakan sebagai  dasar atau acuan untuk penelitian selanjutnya tentang efektifitas madu sebagai antimikroba terhadap bakteri Salmonella typhi secara in vivo.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori umum
Anti mikroba adalah obat pembasmi mikroba khususnya mikroba yang merugikan manusia. Dalam pembicaraan disini yang dimaksudkan dengan mikroba terbatas adalah jasad renik yang tidak termasuk kelompok parasit (Gunawan, 2007).
Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau membasmi mikroba jenis lain. Bamyak antibiotic dewasa ini dibuat secara sintetik dan semisintetik penuh (Gunawan, 2007).
Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroba dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik dan ada yang bersifat membunuh mikroba dikenal sebagai aktivitas bakterisid (Gunawan, 2007).
Sifat antimikroba data berbeda satu dengan yang lainnya. Umpanya penisilin G bersifat aktif terutama terhadap bakteri gram positif, sedangkan bakteri gram negatif pada umumnya tidak peka (resisten) terhadap penisilin G, streptomisin memiliki sifat yang sebaliknya, tetrasiklin aktif pada beberapa bakteri gram postif maupun bakteri gram negatif, berdasarkan sifat ini antimikroba dibagi menjadi dua kelompok yaitu spectrum sempit, umumnya benzyl penisilin dan streptomisin dan spektrum luas umpanya tetrasiklin dan kloramfenikol. Batas antara kedua spektrum ini terkadang tidak jelas (Gunawan, 2007).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antimikroba dibagi menjadi 5 kelompok: (1) yang mengganggu metabolisme sel mikroba (2) yang menghambat sintesis dinding sel mikroba (3) yang mengganggu permeabilitas membrane sel mikroba (4) yang menghambat sintesis protein sel mikroba dan (5) yang menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba (Gunawan, 2007).
Struktur pnisilin dan sefalosporin mempunyai gambaran cincin β laktam yang sama yang integritasnya penting untuk aktivitas antimikroba. Modifikasi gugus R1 dan R2 telah menghasilkan banyak antibiotik semisintetik, beberapa diantaranya tahan asam (dan aktif secara oral), mempunyai spektrum aktivitas yang luas atau resisten terhadap β laktamase bakteri. Β laktamase lainnya sedang berkembang dan resisten terhadap β laktamase lainnya (Neal, 2006).
Antibiotik β laktam merupakan bakteriasidal. Antibiotik menghasilkan aksi antimikrobanya dengan menghambat ikatan silang diantara rantai-rantai polimer peptidoglikan linear yang membentuk dinding sel, misalnya dengan jembatan pentaglisin. Aksi ini karena bagian dari strukturnya menyerupai D-alanin dan D-alanil rantai peptide dan dinding sel bakteri (Neal, 2006).
Demam tifoid termasuk salah satu jenis penyakit infeksi bakteri yang banyak ditemukan di negara kita, baik pada dewasa maupun anak. Pada lima tahun terakhir ini, para klinisi di beberapa negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan fatal, yang ternyata disebabkan oleh strain Salmonella typhi yang telah resisten terhadap antibiotik yang lazim dipergunakan untuk pengobatan demam tifoid.1 Strain Salmonella typhi yang resisten terhadap 2 atau lebih jenis antibiotik yang lazim dipergunakan yaitu ampisilin, kloramfenikol, dan kotrimoksazol dinamai strain multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi. (Bhutta, 1994).
Sejak tahun 1948 kloramfenikol merupakan drug of choice untuk infeksi Salmonella. Keampuhan kloramfenikol pada pengobatan demam tifoid telah diakui berdasarkan  fektifitasnya terhadap Salmonella typhi di samping harga obat relatif murah. Setelah kloramfenikol bertahan sekitar 25 tahun, dilaporkan oleh beberapa peneliti di berbagai negara adanya strain Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol. (Bhutta,1997).
Peneliti India melaporkan adanya kasus demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol pada tahun 1970, sedangkan di Mexico pertama kali dilaporkan pada tahun 1972. Resistensi tersebut ternyata diikuti oleh adanya resistensi Salmonella typhi terhadap obat-obat lain yang biasa dipergunakan untuk mengobati demam tifoid. Di negara berkembang, antibiotik yang tersedia untuk pengobatan demam tifoid adalah ampisilin, kloramfenikol, dan kotrimoksazol. Olarte dan Galindo melaporkan pertama kali adanya strain Salmonella typhi yang resisten terhadap ampisilin dan kloramfenikol di Mexico tahun 1973 (Mirza, 1995).
Pada saat itu kotrimoksazol baru ditemukan sebagai pengganti kloramfenikol untuk mengobati demam tifoid, tetapi ternyata kotrimoksazol cepat menjadi resisten. Pada perkembangan resistensi Salmonella typhi selanjutnya, beberapa negara melaporkan adanya strain Salmonella typhi yang telah resisten terhadap dua atau lebih golongan antibiotik utama untuk pengobatan demam tifoid yaitu kloramfenikol, ampisilin, amoksilin, dan kotrimoksazol (multi-drug resistant = MDR Salmonella typhi) (Girgis, 1995).
Dengan ditemukannya MDR Salmonella typhi, maka pemilihan antibiotik yang tepat akan menjadi masalah, termasuk kendala biaya. Untuk itu perlu difikirkan pengobatan alternatif ataupun pengobatan pendamping yang efektif, efisien, aman dan cukup murah.
Madu telah dikenal sejak ± 10.000 tahun yang lalu, yaitu sejak manusia masih hidup primitif (Sumoprastowo, 1980). Madu digunakan dalam berbagai hal tanpa diketahui jelas tujuan dan manfaatnya. Menurut ajaran Islam Allah SWT telah berfirman dalam Surat An-Nahl ayat 68-69 yang artinya sebagai berikut :
Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran) Tuhan bagi orang-orang yang memikirkan”.
(Depag RI,1990)
Lebih kurang 2500 tahun yang lalu, Hippocrates telah berhasil menemukan madu sebagai obat penyembuh luka. Kemanjuran madu saat itu sama dengan kemanjuran penicillin. Madu yang sebagian besar terdiri dari karbohidrat banyak digunakan untuk obat bermacam-macam penyakit seperti : penyakit pencernaan, tifus abdominalis disentri, malaria, penyakit tenggorokan, dan sebagai obat untuk keracunan (Endang,2005).
Beberapa hasil penelitian telah menyebutkan bahwa madu mempunyai aktivitas antibakteri, dengan spektrum yang luas (Molan,1992). Dr. Peter Molan, seorang guru besar biokimia dan Direktur Unit Penelitian Madu Universitas Waikato, Hamilton New Zealand pada tahun 1992 meneliti tentang sifat antimikroba dan efektivitas madu jenis Manuka sebagai terapi infeksi luka, mastitis, gastroenteritis, dan tinea (Molan,1992). Sedang efek inhibisi madu terhadap pertumbuhan Eschericia coli, Bacillus subtillis, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumonia dan Proteus mirabilis secara invitro diteliti oleh Sarah J Griffin dari Universitas California pada tahun 2003, Nzeako dan Hamdi dari Universitas Sultan Qabos pada tahun 2000, dan Bhat K G dari Kasturba Medical College Mangdore India pada tahun 1998 (Sarah,2002). Osman, Mansour dan El Hakim dari Universitas Al- Azhar Kairo pada tahun 2003 meneliti tentang efek madu kompleks (madu + zat aditif alamiah) sebagai antimikroba terhadap Klebsiella pneumonia, Proteus mirabilis, Pseudomonas aeruginosa, dan Candida albicans (Osman,2003). Stefan Bogdanov dari Swiss Bee Research Centre, Switzerland tahun 1997 meneliti tentang substansi antibakteri pada madu (Stefan,1997).
Di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya telah dilakukan penelitian tentang efektivitas madu lokal sebagai antimikroba terhadap Pseudomonas aeruginosa, Eschericia coli, Klebsiella pneumonia Coagulase Negative Staphylococcus dan Candida albicans, yang mana bakteri dan jamur tersebut sering menyebabkan infeksi (Stefan 2007).


BAB III
METODE KERJA
III.1 Alat yang di Gunakan
                   Adapun alat yang digunakan pada peneitian ini adalah :
1.     Colony counter
2.     Gelas ukur
3.     Inkubator
4.     Label
5.     Ose
6.     Pipet tetes
7.     Tabung reaksi
III.2 Bahan yang di Pakai
                    Adapun bahan yang di pakai pada penelitian ini adalah:
1.    Madu
2.    NaCl
3.    Nutrient Broth
III.3 Desain Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan desain penelitian eksperimental laboratorium secara in vitro. Uji kepekaan dengan Uji Dilusi Tabung untuk mengetahui efek madu terhadap pertumbuhan Salmonella typhi.
III.4 Waktu dan Tempat Penelitian
         Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Univ. Brawijaya Malang pada bulan Agustus – Desember 2005.
III.5 Variabel Bebas pada Penelitian
          Variabel bebas dari penelitian ini adalah konsentrasi madu 18%, 15%, 12%, 9%, 6%, dan 0%.
III.6 Variabel Tergantung pada Penelitian
          Variabel tergantung pada penelitian ini adalah pertumbuhan bakteri Salmonella typhi.
III.7 Estimasi Besar Sampel
Pada penelitian ini dilakukan empat kali pengulangan yang didapatkan dari penghitungan rumus sebagai berikut :
(p-1)(n-1)≥15
p=jumlah perlakuan : n=jumlah pengulangan
Dalam penelitian ini, p=6, sehingga didapatkan :
(6-1)(n-1) ≥15
5(n-1) ≥15
5n-5≥15
5n≥20
n≥4
Jadi, pengulangannya sebanyak 4 (empat) kali.
III.8 Definisi Operasional
Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.     Kuman Salmonella typhi diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi RSUD dr. Saiful Anwar Malang, dimana telah diisolasi dan diidentifikasi.
2.     Sediaan madu yang digunakan adalah Madu Murni yang diproduksi oleh CV. Al-Atsary Malang, yang telah dijual bebas dan berlisensi Depkes RI.
3.     Parameter yang diamati dari madu adalah Kadar Hambat Minimum yang ditandai dengan tidak adanya kekeruhan pada tabung. Kadar Bunuh Minimum didapat dengan cara menanam isi Kadar Hambat Minimum pada Nutrient Agar Plate, ditandai dengan tidak terdapatnya pertumbuhan koloni pada media tersebut.
4.     Kadar hambat Minimal (KHM) adalah konsentrasi antimikroba terendah yang mampu menghambat pertumbuhan kuman,ditandai dengan adanya kekeruhan pada tabung. Sedangkan Kadar Bunuh Minimal (KBM) adalah konsentrasi antimikroba terendah yang mampu membunuh kuman, dan dikatakan KBM apabila jumlah koloni <0,1% dari inokulum awal kuman.
5.     Nutrient Agar Plate (NAP) adalah media untuk uji kepekaan kuman Salmonella typhi terhadap antimikroba.
6.     Dalam penelitian ini terdapat 6 macam perlakuan dengan konsentrasi yang berbeda-beda (18%, 15%, 12%, 9%, 6%, 0%). Konsentrasi ini ditentukan berdasarkan penelitian eksplorasi yang dilakukan sebelumnya.
III.9 Prosedur Penelitian
         III.9.1 Pembuatan Larutan Madu Berbagai Konsentrasi
1.    Disediakan 6 tabung steril yang diberi label konsentrasi, gelas ukur, madu dan NaCl.
2.    Untuk membuat larutan madu konsentrasi 36% dimasukkan NaCl sebesar 6,4 ml dan madu 3,6 ml kedalam tabung 36%.
3.    Kemudian untuk larutan madu 30%, dimasukkan NaCl sebesar 7,0 ml dan madu 3,0 ml ke dalam tabung 30%.
4.    Untuk membuat larutan madu konsentrasi 24% dimasukkan NaCl sebesar 7,6 ml dan madu 2,4 ml kedalam tabung 24%.
5.    Untuk membuat larutan madu konsentrasi 18% dimasukkan NaCl sebesar 8,2 ml dan madu 1,8 ml kedalam tabung 18%.Untuk membuat larutan madu konsentrasi 12% dimasukkan NaCl sebesar 8,8 ml dan madu 1,2 ml kedalam tabung 12%.
         III.9.2 Persiapan Bakteri Uji
1.     Disiapkan biakan bakteri uji, tabung berisi 2 ml larutan MH broth, dan standar Mc Farland 0,5.
2.     Bakteri uji dimasukkan ke dalam tabung MH Broth secara bertahap dengan menggunakan ose yang telah dipanaskan hingga kekeruhannya sama dengan Standart Mc Farland 0,5 (setara dengan 1-1,5x108 bakteri/ ml).
3.     Suspensi yang telah terbentuk diambil 0,5 ml lalu dimasukkan ke dalam tabung yang berisi 4,5 ml MH Broth, sehingga konsentrasi bakteri uji menjadi 1-1,5x107 bakteri/ml.
4.     Disiapkan 6 tabung yang masing-masing berisi 4,5 MH Broth, dan kemudian dimasukkan 0,5 ml suspensi bakteri uji yang mengandung 1-1,5x107 ke dalam masing-masing tabung. Dengan demikian inokulum bakteri uji dengan kekeruhan 1-1,5x106 bakteri/ml telah diperoleh.
III.9.3 Uji Kepekaan Salmonella typhi terhadap Madu
1.     Disediakan 8 tabung yang telah diberi label nomor 1 sampai 8. Tabung 1 sampai 5 untuk perlakuan, tabung 6 untuk kontrol (+) yang berisi Salmonella typhi, tabung 7 untuk inokulum bakteri awal dan tabung 8 untuk kontrol (-) yang berisi larutan madu.
2.     Masukkan 1 ml bakteri Salmonella typhi (1-1,5x106) dan 1 ml madu konsentrasi 36% ke dalam tabung 1 sehingga konsentrasi akhir madu 18%.
3.     Masukkan 1 ml bakteri Salmonella typhi (1-1,5x106) dan 1 ml madu konsentrasi 30% ke dalam tabung 2 sehingga konsentrasi akhir madu 15%.
4.     Masukkan 1 ml bakteri Salmonella typhi (1-1,5x106) dan 1 ml madu konsentrasi 24% ke dalam tabung 3 sehingga konsentrasi akhir madu 12%.
5.     Masukkan 1 ml bakteri Salmonella typhi (1-1,5x106) dan 1 ml madu konsentrasi 18% ke dalam tabung 4 sehingga konsentrasi akhir madu 9%.
6.     Masukkan 1 ml bakteri Salmonella typhi (1-1,5x106) dan 1 ml madu konsentrasi 12% ke dalam tabung 5 sehingga konsentrasi akhir madu 6%.
7.     Kedalam tabung 6 sebagai control (+) dimasukkan suspensi bakteri Salmonella typhi (dengan kekeruhan 106 bakteri/ml) sebanyak 1 ml dan Nutrient Broth sebanyak 1 ml.
8.     Untuk membuat inokulum awal, dimasukkan ke dalam tabung 7 suspensi bakteri Salmonella typhi (dengan kekeruhan 106 bakteri/ml) sebanyak 1 ml dan NaCl sebanyak 1 ml.
9.     Segera dilakukan penggoresan pada NAP untuk inokulum bakteri awal.
10.  Kedalam tabung 8 sebagai control (-) dimasukkan NaCl sebanyak 1 ml dengan madu sebanyak 1 ml.
11.  Semua tabung diinkubasikan pada suhu 370C selama 18-24 jam.
12.  Setelah 18-24 jam, diamati dan dicatat derajat kekeruhan pada semua tabung. Selain itu dicatat juga nilai KHM yang merupakan konsentrasi terendah dari tabung yang pertama kali tidak menunjukkan adanya kekeruhan.
13.  Selanjutnya dilakukan penggoresan dari semua tabung pada media perbenihan pada NAP. Setelah itu diinkubasikan lagi pada suhu 370C selama 18-24 jam.
14.  Keesokan harinya, diamati berapa KBM dari madu terhadap Salmonella typhi. Kemudian dihitung jumlah koloni Salmonella typhi yang tumbuh pada NAP. Untuk menghitung jumlah koloni yang tumbuh digunakan colony counter, perhitungan dilakukan pada seluruh tabung perlakuan.
15.  Prosedur yang sama juga dilakukan pada
16.  pengulangan ke-2,3, dan 4.




BAB IV
HASIL PENGAMATAN
IV. Hasil Penelitian
           Pada penelitian ini semua perlakuan larutan madu menunjukkan kekeruhan yang tidak dapat dibandingkan dengan kontrol kuman (KK) dan kontrol bahan (KB), sehingga Kadar Hambat Minimal tidak dapat ditentukan.
Pada metode penelitian disebutkan bahwa selain suspensi bakteri uji ditambahkan pada tabung yang diberi perlakuan konsentrasi madu, juga langsung dilakukan penanaman (penggoresan) pada medium NA untuk mengetahui jumlah koloni/inokulum awal. Inokulum awal ini digunakan untuk menentukan KBM dimana telah disebutkan bahwa KBM merupakan konsentrasi terendah yang memungkinkan pertumbuhan hanya <0,1% dari jumlah inokulum awal,36 sehingga 0,1% dari jumlah inokulum awal dari data diatas sebesar 378 koloni.
Pada konsentrasi 15%, pengulangan II dan IV memiliki pertumbuhan koloni sebesar 200 koloni (<378 koloni), tetapi pada pengulangan I dan III pertumbuhan koloninya >378 koloni, sehingga dengan kata lain konsentrasi 15% belum dapat dikatakan sebagai KBM. Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat dilihat bahwa dengan meningkatnya konsentrasi madu, maka jumlah pertumbuhan koloni bakteri Salmonella typhi menjadi berkurang. Kadar Bunuh Minimum (KBM) madu terhadap Salmonella typhi adalah pada konsentrasi 18%.
IV.2 Analisa Data
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan adanya penurunan jumlah koloni Salmonella typhi dengan semakin tingginya konsentrasi larutan madu, kemudian hasil perhitungan tersebut dianalisa dengan uji statistik anova satu arah dan uji korelasiregresi. Uji statistik yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan batas kepercayaan 95% (α=0,05).
Pada uji homogenitas varian menunjukkan bahwa data-data yang diperoleh pada penelitian ini merupakan data yang homogen. Terlihat pada tabel 5.2 signifikansi homogenitasnya sebesar 0,002. Pada uji anova satu arah menunjukkan ada perbedaan efek antara setiap konsentrasi larutan madu terhadap koloni Salmonella typhi yang sangat signifikan, dimana nilai p=0,000 (p<0,05) dan F=1270,252
Analisa yang selanjutnya adalah dengan uji korelasi Pearson, hasilnya tertera pada tabel 5.4. Pada uji korelasi Pearson didapatkan koefisien korelasi sebesar -0,875, sehingga hasil penelitian ini menunjukkan adanya korelasi yang erat antara konsentrasi madu dan jumlah koloni Salmonella typhi karena nilainya > 0,5. Tanda negatif menunjukkan hubungan yang terbalik antara konsentrasi larutan madu dengan jumlah koloni Salmonella typhi yang artinya semakin tinggi konsentrasi madu, maka semakin semakin sedikit jumlah koloni bakteri
Salmonella typhi.
Analisa yang selanjutnya adalah dengan uji regresi linear yang hasilnya tertera pada tabel 5.5, 5.6, dan 5.7. Diperoleh p<0,05, dan dari tabel ANOVAb didapatkan F sebesar 71,596 sehingga uji regresi dapat dipakai untuk memprediksi jumlah koloni Salmonella typhi. Persamaan regresi yang didapat adalah y=37420060-7534210x dengan R2 (R Square) sebesar 0,765 (76,5%) ini berarti bahwa perlakuan konsentrasi madu mempengaruhi sebesar 76,5% terhadap penurunan jumlah koloni Salmonella typhi.

  
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas madu sebagai antimikroba terhadap bakteri Salmonella typhi secara in vitro. Larutan madu yang digunakan tidak mendapatkan perlakuan spesifik seperti bahan aktif lain misalnya ekstraksi, perebusan, penyaringan, ataupun sterilisasi. Madu berbentuk larutan sehingga dapat langsung disuspensi dengan NaCl untuk mendapatkan pengenceran yang diinginkan sebelum dicampur dengan bakteri. Metode yang digunakan adalah tube dilution test. Tahap pertama adalah mengetahui Kadar Hambat Minimal (KHM). Tahap ini akan dilanjutkan dengan penggoresan pada NAP untuk menentukan Kadar Bunuh Minimal (KBM). Selanjutnya, jumlah koloni pada NAP akan dihitung dengan colony counter dan dianalisa dengan uji statistik.
Pada pengamatan perbenihan kuman di dalam tabung, kekeruhan yang dihasilkan tidak dapat ditentukan. Hal ini disebabkan pengukuran kekeruhan yang dilakukan hanya berdasar pengukuran visual dengan cara membandingkan tabung reaksi dengan garis hitam yang ada dibelakangnya. Dari hasil pembandingan tersebut semua tabung tidak menunjukkan garis hitam sehingga sulit untuk bisa memastikan ukuran perbedaan kekeruhan diantara larutan yang berbeda. Disamping itu pada konsentrasi larutan madu tanpa kuman (kontrol bahan) sudah didapatkan adanya kekeruhan. Dengan demikian Kadar Hambat Minimal tidak dapat ditentukan.
Selanjutnya dilakukan penggoresan pada NAP dan diinkubasi selama 18-24 jam untuk menentukan Kadar Bunuh Minimal (KBM), didapatkan hasil dimana terdapat penurunan jumlah koloni Salmonella typhi dengan semakin tingginya konsentrasi larutan madu. Berdasarkan hasil tersebut, dapat ditentukan bahwa Kadar Bunuh Minimal larutan madu terhadap Salmonella typhi adalah 18% ditandai dengan tidak adanya pertumbuhan koloni pada NAP disemua pengulangan.
Setelah dilakukan penghitungan jumlah koloni bakteri kemudian diuji statistik anova satu arah dan uji korelasi regresi. Uji statistik yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan batas kepercayaan 95% (α=0,05). Pada uji anova satu arah menunjukkan ada perbedaan efek antara setiap konsentrasi larutan madu terhadap koloni Salmonella typhi yang sangat signifikan, dimana nilai p=0,000 (p<0,05).
Pada uji korelasi Pearson didapatkan koefisien korelasi sebesar -0,875, sehingga hasil penelitian ini menunjukkan adanya korelasi yang erat antara konsentrasi madu dan jumlah koloni Salmonella typhi. Tanda negatif menunjukkan hubungan yang terbalik antara konsentrasi larutan madu dengan jumlah koloni Salmonella typhi.
Pada uji regresi linear didapatkan hasil R2 (R Square) sebesar 0,765 (76,5%) ini berarti bahwa perlakuan konsentrasi madu mempengaruhi sebesar 76,5% terhadap penurunan jumlah koloni Salmonella typhi. Dari hasil berbagai uji statistik yang dilakukan tampak bahwa madu efektif sebagai antimikroba terhadap bakteri Salmonella typhi.
Efek antimikroba ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor antimikroba yang terdapat didalamnya. Yang pertama adalah kandungan glukosa dan fruktosa madu yang sangat tinggi dengan demikian menyebabkan larutan sangat hipertonis bila dibandingkan dengan lingkungan di dalam tubuh Salmonella typhi, sifat ini akan menyebabkan lisisnya bakteri akibat dehidrasi yang berat karena efek osmosis.
Faktor yang kedua adalah pH madu yang bersifat asam berkisar antara 3,2 – 4,5 sehingga akan menghambat metabolisme bakteri Salmonella typhi, dengan terhambatnya metabolisme bakteri menyebabkan bakteri mudah mengalami lisis, sehingga akhirnya dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonnela typhi. Sedangkan untuk tumbuh dan berkembang biak secara optimum bakteri Salmonella typhi perlu pH 6-8.
Faktor yang ketiga adalah adanya kandungan hidrogen peroksida yang bersifat sitotoksik bagi sel bakteri. Proses antimikroba dari hidrogen peroksidase karena kemampuan pengoksidasian serta formasi radikal bebas hidroksil yang lebih toksik dari peroksida, sehingga memudahkan terjadinya kerusakan sel-sel bakteri.
Faktor yang lain adalah karena kandungan nutrisi dan gizi yang terdapat dalam madu sehingga mampu meningkatkan imunitas tubuh apabila digunakan secara in vivo. Madu banyak mengandung vitamin B2, B3, B6, C, K, karoten, biotin, dan lain-lain; dimana bahan-bahan tersebut dapat meningkatkan ketahanan tubuh terhadap infeksi bakteri. Faktor-faktor antimikroba tersebut tidak menutup kemungkinan juga diperkuat oleh faktor-faktor lain dalam madu yang mendukung sifat antimikroba madu.
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dijelaskan, maka hipotesis yang diajukan telah terbukti, yaitu madu efektif sebagai antimikroba terhadap bakteri Salmonella typhi dan ada pengaruh berbagai konsentrasi madu terhadap pertumbuhan koloni Salmonella typhi dimana semakin tinggi konsentrasi madu semakin rendah pertumbuhan koloni Salmonella typhi.
Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa madu memiliki peluang untuk digunakan sebagai pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi khususnya demam tifoid. Mekanisme madu dalam penyembuhan infeksi ini selain karena sifat antimikrobanya juga karena kemampuannya dalam meningkatkan stamina tubuh sehingga dapat membantu meringankan penderita. Namun perlu penelitian lebih lanjut mengenai efektifitas madu sebagai antimikroba terhadap Salmonella typhi secara in vivo. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya dalam membahas tentang faktor-faktor lain yang terkandung dalam madu yang mendukung efek antimikroba terutama terhadap bakteri-bakteri yang Multi Drug Resistant.



BAB VI
PENUTUP
VI.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
1.     Madu terbukti efektif sebagai antimikroba terhadap bakteri Salmonella typhi.
2.     Semakin tinggi konsentrasi madu maka makin rendah pertumbuhan koloni Salmonella typhi.
3.     Kadar Hambat Minimal (KHM) larutan madu tidak dapat ditentukan karena suspensi larutan madu sudah bersifat keruh, sedangkan Kadar Bunuh Minimal (KBM) larutan madu terhadap pertumbuhan bakteri Salmonella typhi adalah konsentrasi 18 %.
VI.2 Saran
          Sebaiknya dilakukan penelitian lanjut tentang uji efektifitas madu sebagai antimikroba secara in vivo.

 
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya. Surat An-Nahl ayat 68-69. Depag RI. Jakarta. 1990.

Anonymous. Active Manuka Honey Research. 2002 http://www.natures_fix.com/research.htm diakses pada tanggal 1 Maret 2005.

Anonymous. Definition of Honey and Honey Product. 2003 http://www.nhb/foodtech/defdoc.html diakses tanggal 1 Maret 2005.

Anonymous.Composition of Honey. http://www.kohala.net/bees/composition.html diakses tanggal 1 Maret 2005.

Baron, Ellen Jo., et al. Balley & Scott’s Diagnostic Microbiology, 9th Edition. Mosby-Year Book, Inc. New York. 1994.

Bhat, KG. Effect of Honey on Bacteria Isolated from Burn Wound Infection, an invitro study. Biomedicine. 1998.

Bhutta ZA, Khan IA, Molla AM. Therapy of multidrug-resistant typhoid fever with oral cefixime vs. intravenous ceftriaxone. Pediatr Infect Dis J 1994.

Bhutta ZA. MDR Typhoid: a potential algorithmic approach to diagnosis and management. Dipresentasikan pada Third Asia-Pacific Symposium on Typhoid Fever and Other almonellosis. Bali, 11 Desember 1997.

Bonang, Koeswardono ES. Mikrobiologi Kedokteran untuk Laboratorium dan Klinik. Gramedia. Jakarta. 1987.

Corcoran JW, Shulman ST. Molecular biology of sensitivity and resistance to antimicrobial agents. Dalam The Biology & Clinical Basis of Infectious Diseases, Shulman, Phair, Sommers penyunting.Philadelphia, Tokyo, WB Saunders Company, edisi keempat 1992.

Endang S. Madu, Cairan Emas Kaya Antioksidan. http://www.cyberwoman.cbn.net.id/detilhit:asp?kategori=health&news diakses tanggal 1 Maret 2005.

Finegold SM, et al. Diagnostic Microbiolog7th Edition. The CV Mosby Company. St Luis Toronto Prington. 1986.

Girgis NI, Sultan Y, Hammad O, Farid ZH. Comparison of the efficacy, safety and cost of cefixime, ceftriaxone, and aztreonam in the treatment of multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia in children. Pediatr Infect Dis J 1995.

Handoko, I. S. Demam Tifoid. Klinikku. 2004 http://www.klinikku.com/pustaka/medis/inf/tifoid.html diakses tanggal 1 Maret 2005.

Heritage. J, et al. Introductory Microbiology. University Press. Cambridge. 2000.http://www.papdi.or.id/imunisasi//demam_tifoid_dan_imunisasi_terha.htm diakses tanggal 1 Maret 2005.

Jawetz, Melnick, Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran edisi 20. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1996.

Leigh, et al. What’s the Buzz? Medicine from The Bee Hive. 2001 http://healthwell.com diakses tanggal 1 Maret 2005.

Lukito, H. Rancangan Percobaan, Suatu Pengantar. IKIP Malang. Malang. 1998.

Mirza SH. The prevalence and clinical features of multi-drug resistant Salmonella typhi infections in Baluchistan, Pakistan. Ann Trop Med and Parasitol 1995.

Molan P. The Antibacterial Activity of Honey, The Nature of Antibacterial Activity. Bee world. 1992 http://www.biowaikatoac.nz/honey_intro.shtm l.7k diakses pada tanggal 1 Maret 2005.

Murray PR, et al. Manual of Clinical Microbiology 7th edition. ASM Press.

Narain, H. P. Demam Tifoid dan Imunisasi terhadap Penyakit ini. PAPDI. 2004

Nzeako, Hamdi. Antimicrobial Potential of Honey on Some Microbial Issolates. Sultan Qaboos University. Saudi Arabia. 2000 http:/wwwi_sis.org.uk/honey.beatssuperbugs.php diakses pada tanggal 1 Maret 2005.

Osman, Mansour. Honey Compound for Wound Care a Preliminary Report. Annals of Burn and Fire Disaster. Vol XVI. 2003 http://www.medbc.com/annals/review/volxvi/numb3/text/24k diakses tanggal 1 Maret 2005.

Pelczar, MJ. Elements of Microbiology. Mc Graw-Hill International Book Company. Tokyo. 1981.

Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Pertama. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 1996.

Samatan, Y, EY. Uji Efek Madu Sebagai Antimikroba terhadap Pseudomonas aerogenosa. Tugas Akhir. FKUB. Malang. 2002.

Sarah JG. Do Bees Know Something That We Don’t?. California State Sceince. USA. 2002 http:/www.usc.edu/cssf/history.2003/projects/s1310pdf diakses tanggal 1 Maret 2005.

Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Mikrobologi Kedokteran. Edisi Revisi. Binarupa Aksara. Jakarta. 1994.

Staf Pengajar IKA FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Cetakan Ketujuh. Info Medika. Jakarta.1997.

Stefan B. Antibacterial Substance in Honey. Swiss Bee Research Centre. Switzerland.1997.http://www.squ.edu.com/mj/archive/oct00/honey/hoey.pdf diakses tanggal 1 Maret 2005.

Stern, K. R. Introductory Plant Biology, 8th Edition. Mc Graw Hill Company. USA. 2000.

Sumoprastowo A. Beternak Lebah Madu Modern. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. 1980.
Suriawiria, HU. Madu untuk Kesehatan, Kebugaran dan Kecantikan. Papas Sinar Sinanti. Jakarta. 2000.

Tortora, G. J, et al. Microbiology An Introduction 7th Edition. Benjamin Cumming an imprint of Eddison Wesley. USA. 2001.
Washington DC. 1999.

Wolfgang K, et al. Zinsser Microbiology 20th Edition. Appleton Lange Prentice Hall International, Inc. London. 1992.

1 komentar: