BAB
I
PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Madu sejak zaman
dahulu dipercaya mempunyai kemampuan sebagai antimikroba, tetapi belum jelas
efek antimikrobanya terhadap bakteri Salmonella typhi. Sedangkan
akhir-akhir ini banyak ditemukan kasus resistensi bakteri penyebab penyakit
demam tifoid ini terhadap berbagai jenis antibiotik yang telah biasa digunakan
seperti kloramfenikol, ampisilin, dan kotrimoksazol. Karena hal tersebut peneliti
melakukan penelitian ini.
Tujuan penelitian
ini untuk mengetahui pengaruh madu terhadap bakteri Salmonella typhi penyebab
penyakit demam tifoid. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental
laboratorik yang dilakukan secara in vitro menggunakan metode dilusi
tabung dilanjutkan penggoresan pada Nutrient Agar Plate (NAP). Bahan uji
adalah larutan madu dan sampelnya adalah bakteri Salmonella typhi yang diambil
dari stok kuman di laboratorium dan dilakukan pengulangan perlakuan sebanyak
empat kali. Parameter yang diukur adalah derajat kekeruhan pada tabung dan
jumlah koloni yang tumbuh pada NAP.
Untuk memperjelas pertanyaan
yang sering muncul dari peneliti yaitu apakah madu dapat digunakan sebagai
pengobatan alternatif untuk mengobati penyakit demam tifoid. Maka dari itu
diperlukan suatu penelitian untuk mendapatkan dasar teoritis dan bukti-bukti
ilmiah tentang penggunaan madu dalam mengobati penyakit demam tifoid. Salah
satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penelitian mengenai
efektifitas madu sebagai antimikroba terhadap bakteri Salmonella typhi penyebab
penyakit demam tifoid.
I.2 Tujuan
Umum
Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah untuk Mengetahui efektifitas madu sebagai
antimikroba terhadap bakteri Salmonella typhi.
I.3 Manfaat Penelitian
Adapun Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini
adalah :
1.
Memberikan informasi kepada masyarakat bahwa
madu dapat digunakan sebagai pengobatan alternatif terhadap penyakit demam
tifoid.
2.
Ditemukannya bahan antimikroba baru untuk
infeksi Salmonella typhi sehingga dapat digunakan sebagai pengganti
antibiotika yang sudah tidak sensitif lagi terhadap Salmonella typhi.
3.
Dapat digunakan sebagai dasar atau acuan untuk penelitian selanjutnya
tentang efektifitas madu sebagai antimikroba terhadap bakteri Salmonella
typhi secara in vivo.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
II.1 Teori umum
Anti
mikroba adalah obat pembasmi mikroba khususnya mikroba yang merugikan manusia.
Dalam pembicaraan disini yang dimaksudkan dengan mikroba terbatas adalah jasad
renik yang tidak termasuk kelompok parasit (Gunawan, 2007).
Antibiotik
ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat
menghambat atau membasmi mikroba jenis lain. Bamyak antibiotic dewasa ini
dibuat secara sintetik dan semisintetik penuh (Gunawan, 2007).
Berdasarkan
sifat toksisitas selektif, ada antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroba
dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik dan ada yang bersifat membunuh mikroba
dikenal sebagai aktivitas bakterisid (Gunawan, 2007).
Sifat
antimikroba data berbeda satu dengan yang lainnya. Umpanya penisilin G bersifat
aktif terutama terhadap bakteri gram positif, sedangkan bakteri gram negatif
pada umumnya tidak peka (resisten) terhadap penisilin G, streptomisin memiliki
sifat yang sebaliknya, tetrasiklin aktif pada beberapa bakteri gram postif
maupun bakteri gram negatif, berdasarkan sifat ini antimikroba dibagi menjadi
dua kelompok yaitu spectrum sempit, umumnya benzyl penisilin dan streptomisin
dan spektrum luas umpanya tetrasiklin dan kloramfenikol. Batas antara kedua
spektrum ini terkadang tidak jelas (Gunawan, 2007).
Berdasarkan
mekanisme kerjanya, antimikroba dibagi menjadi 5 kelompok: (1) yang mengganggu
metabolisme sel mikroba (2) yang menghambat sintesis dinding sel mikroba (3)
yang mengganggu permeabilitas membrane sel mikroba (4) yang menghambat sintesis
protein sel mikroba dan (5) yang menghambat sintesis atau merusak asam nukleat
sel mikroba (Gunawan, 2007).
Struktur
pnisilin dan sefalosporin mempunyai gambaran cincin β laktam yang sama yang
integritasnya penting untuk aktivitas antimikroba. Modifikasi gugus R1 dan R2
telah menghasilkan banyak antibiotik semisintetik, beberapa diantaranya tahan
asam (dan aktif secara oral), mempunyai spektrum aktivitas yang luas atau
resisten terhadap β laktamase bakteri. Β laktamase lainnya sedang berkembang
dan resisten terhadap β laktamase lainnya (Neal, 2006).
Antibiotik
β laktam merupakan bakteriasidal. Antibiotik menghasilkan aksi antimikrobanya
dengan menghambat ikatan silang diantara rantai-rantai polimer peptidoglikan
linear yang membentuk dinding sel, misalnya dengan jembatan pentaglisin. Aksi
ini karena bagian dari strukturnya menyerupai D-alanin dan D-alanil rantai
peptide dan dinding sel bakteri (Neal, 2006).
Demam tifoid
termasuk salah satu jenis penyakit infeksi bakteri yang banyak ditemukan di negara
kita, baik pada dewasa maupun anak. Pada lima tahun terakhir ini, para klinisi
di beberapa negara mengamati adanya kasus demam tifoid anak yang berat bahkan
fatal, yang ternyata disebabkan oleh strain Salmonella typhi yang telah
resisten terhadap antibiotik yang lazim dipergunakan untuk pengobatan demam
tifoid.1 Strain Salmonella typhi yang resisten terhadap 2 atau lebih
jenis antibiotik yang lazim dipergunakan yaitu ampisilin, kloramfenikol, dan
kotrimoksazol dinamai strain multi drug resistance (MDR) Salmonella typhi.
(Bhutta, 1994).
Sejak tahun 1948
kloramfenikol merupakan drug of choice untuk infeksi Salmonella.
Keampuhan kloramfenikol pada pengobatan demam tifoid telah diakui berdasarkan fektifitasnya terhadap Salmonella typhi di
samping harga obat relatif murah. Setelah kloramfenikol bertahan sekitar 25
tahun, dilaporkan oleh beberapa peneliti di berbagai negara adanya strain
Salmonella typhi yang resisten terhadap kloramfenikol. (Bhutta,1997).
Peneliti India melaporkan
adanya kasus demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol pada tahun 1970,
sedangkan di Mexico pertama kali dilaporkan pada tahun 1972. Resistensi
tersebut ternyata diikuti oleh adanya resistensi Salmonella typhi terhadap
obat-obat lain yang biasa dipergunakan untuk mengobati demam tifoid. Di negara
berkembang, antibiotik yang tersedia untuk pengobatan demam tifoid adalah
ampisilin, kloramfenikol, dan kotrimoksazol. Olarte dan Galindo melaporkan
pertama kali adanya strain Salmonella typhi yang resisten terhadap
ampisilin dan kloramfenikol di Mexico tahun 1973 (Mirza, 1995).
Pada saat itu
kotrimoksazol baru ditemukan sebagai pengganti kloramfenikol untuk mengobati
demam tifoid, tetapi ternyata kotrimoksazol cepat menjadi resisten. Pada
perkembangan resistensi Salmonella typhi selanjutnya, beberapa negara
melaporkan adanya strain Salmonella typhi yang telah resisten terhadap
dua atau lebih golongan antibiotik utama untuk pengobatan demam tifoid yaitu
kloramfenikol, ampisilin, amoksilin, dan kotrimoksazol (multi-drug resistant
= MDR Salmonella typhi) (Girgis, 1995).
Dengan ditemukannya
MDR Salmonella typhi, maka pemilihan antibiotik yang tepat akan menjadi
masalah, termasuk kendala biaya. Untuk itu perlu difikirkan pengobatan
alternatif ataupun pengobatan pendamping yang efektif, efisien, aman dan cukup
murah.
Madu telah dikenal sejak
± 10.000 tahun yang lalu, yaitu sejak manusia masih hidup primitif
(Sumoprastowo, 1980). Madu digunakan dalam berbagai hal tanpa diketahui jelas
tujuan dan manfaatnya. Menurut ajaran Islam Allah SWT telah berfirman dalam
Surat An-Nahl ayat 68-69 yang artinya sebagai berikut :
“Dari perut lebah itu keluar minuman
(madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang
menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda (kebesaran) Tuhan bagi orang-orang yang memikirkan”.
(Depag RI,1990)
Lebih kurang 2500
tahun yang lalu, Hippocrates telah berhasil menemukan madu sebagai obat
penyembuh luka. Kemanjuran madu saat itu sama dengan kemanjuran penicillin.
Madu yang sebagian besar terdiri dari karbohidrat banyak digunakan untuk obat
bermacam-macam penyakit seperti : penyakit pencernaan, tifus abdominalis
disentri, malaria, penyakit tenggorokan, dan sebagai obat untuk keracunan
(Endang,2005).
Beberapa hasil
penelitian telah menyebutkan bahwa madu mempunyai aktivitas antibakteri, dengan
spektrum yang luas (Molan,1992). Dr. Peter Molan, seorang guru besar biokimia
dan Direktur Unit Penelitian Madu Universitas Waikato, Hamilton New Zealand
pada tahun 1992 meneliti tentang sifat antimikroba dan efektivitas madu jenis Manuka
sebagai terapi infeksi luka, mastitis, gastroenteritis, dan tinea (Molan,1992).
Sedang efek inhibisi madu terhadap pertumbuhan Eschericia coli, Bacillus
subtillis, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumonia dan Proteus mirabilis secara
invitro diteliti oleh Sarah J Griffin dari Universitas California pada tahun
2003, Nzeako dan Hamdi dari Universitas Sultan Qabos pada tahun 2000, dan Bhat
K G dari Kasturba Medical College Mangdore India pada tahun 1998 (Sarah,2002). Osman,
Mansour dan El Hakim dari Universitas Al- Azhar Kairo pada tahun 2003 meneliti
tentang efek madu kompleks (madu + zat aditif alamiah) sebagai antimikroba
terhadap Klebsiella pneumonia, Proteus mirabilis, Pseudomonas aeruginosa,
dan Candida albicans (Osman,2003).
Stefan Bogdanov dari Swiss Bee Research Centre, Switzerland tahun 1997
meneliti tentang substansi antibakteri pada madu (Stefan,1997).
Di Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya telah dilakukan penelitian
tentang efektivitas madu lokal sebagai antimikroba terhadap Pseudomonas
aeruginosa, Eschericia coli, Klebsiella pneumonia Coagulase Negative
Staphylococcus dan Candida albicans, yang mana bakteri dan jamur tersebut
sering menyebabkan infeksi (Stefan 2007).
BAB
III
METODE
KERJA
III.1
Alat yang di Gunakan
Adapun
alat yang digunakan pada peneitian ini adalah :
1. Colony
counter
2. Gelas
ukur
3. Inkubator
4. Label
5. Ose
6. Pipet
tetes
7. Tabung
reaksi
III.2
Bahan yang di Pakai
Adapun
bahan yang di pakai pada penelitian ini adalah:
1. Madu
2. NaCl
3. Nutrient
Broth
III.3 Desain Penelitian
Penelitian
dilaksanakan dengan desain penelitian eksperimental laboratorium secara in
vitro. Uji kepekaan dengan Uji Dilusi Tabung untuk mengetahui efek madu
terhadap pertumbuhan Salmonella typhi.
III.4 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di
laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Univ. Brawijaya Malang pada bulan
Agustus – Desember 2005.
III.5 Variabel Bebas pada Penelitian
Variabel bebas dari penelitian ini
adalah konsentrasi madu 18%, 15%, 12%, 9%, 6%, dan 0%.
III.6 Variabel Tergantung pada Penelitian
Variabel tergantung pada penelitian
ini adalah pertumbuhan bakteri Salmonella typhi.
III.7 Estimasi Besar Sampel
Pada penelitian ini
dilakukan empat kali pengulangan yang didapatkan dari penghitungan rumus
sebagai berikut :
(p-1)(n-1)≥15
p=jumlah perlakuan :
n=jumlah pengulangan
Dalam penelitian ini, p=6, sehingga didapatkan
:
(6-1)(n-1) ≥15
5(n-1) ≥15
5n-5≥15
5n≥20
n≥4
Jadi, pengulangannya sebanyak 4 (empat) kali.
III.8 Definisi Operasional
Definisi operasional
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Kuman Salmonella typhi diperoleh dari
Laboratorium Mikrobiologi RSUD dr. Saiful Anwar Malang, dimana telah diisolasi
dan diidentifikasi.
2. Sediaan
madu yang digunakan adalah Madu Murni yang diproduksi oleh CV. Al-Atsary
Malang, yang telah dijual bebas dan berlisensi Depkes RI.
3. Parameter
yang diamati dari madu adalah Kadar Hambat Minimum yang ditandai dengan tidak
adanya kekeruhan pada tabung. Kadar Bunuh Minimum didapat dengan cara menanam
isi Kadar Hambat Minimum pada Nutrient Agar Plate, ditandai dengan tidak
terdapatnya pertumbuhan koloni pada media tersebut.
4. Kadar
hambat Minimal (KHM) adalah konsentrasi antimikroba terendah yang mampu
menghambat pertumbuhan kuman,ditandai dengan adanya kekeruhan pada tabung. Sedangkan
Kadar Bunuh Minimal (KBM) adalah konsentrasi antimikroba terendah yang mampu
membunuh kuman, dan dikatakan KBM apabila jumlah koloni <0,1% dari inokulum
awal kuman.
5. Nutrient
Agar Plate (NAP) adalah media untuk uji kepekaan kuman Salmonella typhi terhadap
antimikroba.
6.
Dalam penelitian ini terdapat 6 macam perlakuan
dengan konsentrasi yang berbeda-beda (18%, 15%, 12%, 9%, 6%, 0%). Konsentrasi
ini ditentukan berdasarkan penelitian eksplorasi yang dilakukan sebelumnya.
III.9 Prosedur Penelitian
III.9.1
Pembuatan Larutan Madu Berbagai Konsentrasi
1.
Disediakan 6 tabung steril yang diberi label
konsentrasi, gelas ukur, madu dan NaCl.
2.
Untuk membuat larutan madu konsentrasi 36%
dimasukkan NaCl sebesar 6,4 ml dan madu 3,6 ml kedalam tabung 36%.
3.
Kemudian untuk larutan madu 30%, dimasukkan
NaCl sebesar 7,0 ml dan madu 3,0 ml ke dalam tabung 30%.
4.
Untuk membuat larutan madu konsentrasi 24%
dimasukkan NaCl sebesar 7,6 ml dan madu 2,4 ml kedalam tabung 24%.
5.
Untuk membuat larutan madu konsentrasi 18%
dimasukkan NaCl sebesar 8,2 ml dan madu 1,8 ml kedalam tabung 18%.Untuk membuat
larutan madu konsentrasi 12% dimasukkan NaCl sebesar 8,8 ml dan madu 1,2 ml
kedalam tabung 12%.
III.9.2
Persiapan Bakteri Uji
1.
Disiapkan biakan bakteri uji, tabung berisi
2 ml larutan MH broth, dan standar Mc Farland 0,5.
2.
Bakteri uji dimasukkan ke dalam tabung MH
Broth secara bertahap dengan menggunakan ose yang telah dipanaskan hingga
kekeruhannya sama dengan Standart Mc Farland 0,5 (setara dengan 1-1,5x108
bakteri/ ml).
3.
Suspensi yang telah terbentuk diambil 0,5 ml
lalu dimasukkan ke dalam tabung yang berisi 4,5 ml MH Broth, sehingga
konsentrasi bakteri uji menjadi 1-1,5x107 bakteri/ml.
4.
Disiapkan 6 tabung yang masing-masing berisi
4,5 MH Broth, dan kemudian dimasukkan 0,5 ml suspensi bakteri uji yang
mengandung 1-1,5x107 ke dalam masing-masing tabung. Dengan demikian inokulum
bakteri uji dengan kekeruhan 1-1,5x106 bakteri/ml telah diperoleh.
III.9.3 Uji Kepekaan Salmonella typhi terhadap
Madu
1.
Disediakan 8 tabung yang telah diberi label nomor
1 sampai 8. Tabung 1 sampai 5 untuk perlakuan, tabung 6 untuk kontrol (+) yang
berisi Salmonella typhi, tabung 7 untuk inokulum bakteri awal dan tabung
8 untuk kontrol (-) yang berisi larutan madu.
2.
Masukkan 1 ml bakteri Salmonella typhi (1-1,5x106)
dan 1 ml madu konsentrasi 36% ke dalam tabung 1 sehingga konsentrasi akhir madu
18%.
3.
Masukkan 1 ml bakteri Salmonella typhi (1-1,5x106)
dan 1 ml madu konsentrasi 30% ke dalam tabung 2 sehingga konsentrasi akhir madu
15%.
4.
Masukkan 1 ml bakteri Salmonella typhi (1-1,5x106)
dan 1 ml madu konsentrasi 24% ke dalam tabung 3 sehingga konsentrasi akhir madu
12%.
5.
Masukkan 1 ml bakteri Salmonella typhi (1-1,5x106)
dan 1 ml madu konsentrasi 18% ke dalam tabung 4 sehingga konsentrasi akhir madu
9%.
6.
Masukkan 1 ml bakteri Salmonella typhi (1-1,5x106)
dan 1 ml madu konsentrasi 12% ke dalam tabung 5 sehingga konsentrasi akhir madu
6%.
7.
Kedalam tabung 6 sebagai control (+)
dimasukkan suspensi bakteri Salmonella typhi (dengan kekeruhan 106
bakteri/ml) sebanyak 1 ml dan Nutrient Broth sebanyak 1 ml.
8.
Untuk membuat inokulum awal, dimasukkan ke
dalam tabung 7 suspensi bakteri Salmonella typhi (dengan kekeruhan 106
bakteri/ml) sebanyak 1 ml dan NaCl sebanyak 1 ml.
9.
Segera dilakukan penggoresan pada NAP untuk
inokulum bakteri awal.
10.
Kedalam tabung 8 sebagai control (-)
dimasukkan NaCl sebanyak 1 ml dengan madu sebanyak 1 ml.
11.
Semua tabung diinkubasikan pada suhu 370C
selama 18-24 jam.
12.
Setelah 18-24 jam, diamati dan dicatat
derajat kekeruhan pada semua tabung. Selain itu dicatat juga nilai KHM yang
merupakan konsentrasi terendah dari tabung yang pertama kali tidak menunjukkan
adanya kekeruhan.
13.
Selanjutnya dilakukan penggoresan dari semua
tabung pada media perbenihan pada NAP. Setelah itu diinkubasikan lagi pada suhu
370C selama 18-24 jam.
14.
Keesokan harinya, diamati berapa KBM dari
madu terhadap Salmonella typhi. Kemudian dihitung jumlah koloni Salmonella
typhi yang tumbuh pada NAP. Untuk menghitung jumlah koloni yang tumbuh
digunakan colony counter, perhitungan dilakukan pada seluruh tabung
perlakuan.
15.
Prosedur yang sama juga dilakukan pada
16.
pengulangan ke-2,3, dan 4.
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
IV. Hasil Penelitian
Pada penelitian ini semua perlakuan larutan madu
menunjukkan kekeruhan yang tidak dapat dibandingkan dengan kontrol kuman (KK)
dan kontrol bahan (KB), sehingga Kadar Hambat Minimal tidak dapat ditentukan.
Pada metode
penelitian disebutkan bahwa selain suspensi bakteri uji ditambahkan pada tabung
yang diberi perlakuan konsentrasi madu, juga langsung dilakukan penanaman
(penggoresan) pada medium NA untuk mengetahui jumlah koloni/inokulum awal.
Inokulum awal ini digunakan untuk menentukan KBM dimana telah disebutkan bahwa
KBM merupakan konsentrasi terendah yang memungkinkan pertumbuhan hanya <0,1%
dari jumlah inokulum awal,36 sehingga 0,1% dari jumlah inokulum awal dari data
diatas sebesar 378 koloni.
Pada konsentrasi
15%, pengulangan II dan IV memiliki pertumbuhan koloni sebesar 200 koloni (<378
koloni), tetapi pada pengulangan I dan III pertumbuhan koloninya >378
koloni, sehingga dengan kata lain konsentrasi 15% belum dapat dikatakan sebagai
KBM. Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat dilihat bahwa dengan
meningkatnya konsentrasi madu, maka jumlah pertumbuhan koloni bakteri Salmonella
typhi menjadi berkurang. Kadar Bunuh Minimum (KBM) madu terhadap Salmonella
typhi adalah pada konsentrasi 18%.
IV.2 Analisa Data
Berdasarkan hasil
penelitian didapatkan adanya penurunan jumlah koloni Salmonella typhi dengan
semakin tingginya konsentrasi larutan madu, kemudian hasil perhitungan tersebut
dianalisa dengan uji statistik anova satu arah dan uji korelasiregresi. Uji
statistik yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan batas kepercayaan 95%
(α=0,05).
Pada uji homogenitas
varian menunjukkan bahwa data-data yang diperoleh pada penelitian ini merupakan
data yang homogen. Terlihat pada tabel 5.2 signifikansi homogenitasnya sebesar
0,002. Pada uji anova satu arah menunjukkan ada perbedaan efek antara setiap
konsentrasi larutan madu terhadap koloni Salmonella typhi yang sangat
signifikan, dimana nilai p=0,000 (p<0,05) dan F=1270,252
Analisa yang
selanjutnya adalah dengan uji korelasi Pearson, hasilnya tertera pada tabel 5.4.
Pada uji korelasi Pearson didapatkan koefisien korelasi sebesar -0,875,
sehingga hasil penelitian ini menunjukkan adanya korelasi yang erat antara
konsentrasi madu dan jumlah koloni Salmonella typhi karena nilainya >
0,5. Tanda negatif menunjukkan hubungan yang terbalik antara konsentrasi
larutan madu dengan jumlah koloni Salmonella typhi yang artinya semakin
tinggi konsentrasi madu, maka semakin semakin sedikit jumlah koloni bakteri
Salmonella typhi.
Analisa yang
selanjutnya adalah dengan uji regresi linear yang hasilnya tertera pada tabel
5.5, 5.6, dan 5.7. Diperoleh p<0,05, dan dari tabel ANOVAb didapatkan
F sebesar 71,596 sehingga uji regresi dapat dipakai untuk memprediksi jumlah
koloni Salmonella typhi. Persamaan regresi yang didapat adalah
y=37420060-7534210x dengan R2 (R Square) sebesar 0,765 (76,5%) ini berarti
bahwa perlakuan konsentrasi madu mempengaruhi sebesar 76,5% terhadap penurunan
jumlah koloni Salmonella typhi.
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
efektifitas madu sebagai antimikroba terhadap bakteri Salmonella typhi secara
in vitro. Larutan madu yang digunakan tidak mendapatkan perlakuan
spesifik seperti bahan aktif lain misalnya ekstraksi, perebusan, penyaringan,
ataupun sterilisasi. Madu berbentuk larutan sehingga dapat langsung disuspensi
dengan NaCl untuk mendapatkan pengenceran yang diinginkan sebelum dicampur
dengan bakteri. Metode yang digunakan adalah tube dilution test. Tahap
pertama adalah mengetahui Kadar Hambat Minimal (KHM). Tahap ini akan dilanjutkan
dengan penggoresan pada NAP untuk menentukan Kadar Bunuh Minimal (KBM).
Selanjutnya, jumlah koloni pada NAP akan dihitung dengan colony counter dan
dianalisa dengan uji statistik.
Pada pengamatan perbenihan kuman di dalam
tabung, kekeruhan yang dihasilkan tidak dapat ditentukan. Hal ini disebabkan
pengukuran kekeruhan yang dilakukan hanya berdasar pengukuran visual dengan
cara membandingkan tabung reaksi dengan garis hitam yang ada dibelakangnya.
Dari hasil pembandingan tersebut semua tabung tidak menunjukkan garis hitam
sehingga sulit untuk bisa memastikan ukuran perbedaan kekeruhan diantara
larutan yang berbeda. Disamping itu pada konsentrasi larutan madu tanpa kuman
(kontrol bahan) sudah didapatkan adanya kekeruhan. Dengan demikian Kadar Hambat
Minimal tidak dapat ditentukan.
Selanjutnya dilakukan penggoresan pada NAP
dan diinkubasi selama 18-24 jam untuk menentukan Kadar Bunuh Minimal (KBM),
didapatkan hasil dimana terdapat penurunan jumlah koloni Salmonella typhi dengan
semakin tingginya konsentrasi larutan madu. Berdasarkan hasil tersebut, dapat ditentukan
bahwa Kadar Bunuh Minimal larutan madu terhadap Salmonella typhi adalah
18% ditandai dengan tidak adanya pertumbuhan koloni pada NAP disemua pengulangan.
Setelah dilakukan penghitungan jumlah koloni
bakteri kemudian diuji statistik anova satu arah dan uji korelasi regresi. Uji
statistik yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan batas kepercayaan 95%
(α=0,05). Pada uji anova satu arah menunjukkan ada perbedaan efek antara setiap
konsentrasi larutan madu terhadap koloni Salmonella typhi yang sangat
signifikan, dimana nilai p=0,000 (p<0,05).
Pada uji korelasi Pearson didapatkan
koefisien korelasi sebesar -0,875, sehingga hasil penelitian ini menunjukkan
adanya korelasi yang erat antara konsentrasi madu dan jumlah koloni Salmonella
typhi. Tanda negatif menunjukkan hubungan yang terbalik antara konsentrasi
larutan madu dengan jumlah koloni Salmonella typhi.
Pada uji regresi linear didapatkan hasil R2
(R Square) sebesar 0,765 (76,5%) ini berarti bahwa perlakuan konsentrasi madu
mempengaruhi sebesar 76,5% terhadap penurunan jumlah koloni Salmonella
typhi. Dari hasil berbagai uji statistik yang dilakukan tampak bahwa madu
efektif sebagai antimikroba terhadap bakteri Salmonella typhi.
Efek antimikroba ini kemungkinan disebabkan
oleh beberapa faktor antimikroba yang terdapat didalamnya. Yang pertama adalah
kandungan glukosa dan fruktosa madu yang sangat tinggi dengan demikian
menyebabkan larutan sangat hipertonis bila dibandingkan dengan lingkungan di
dalam tubuh Salmonella typhi, sifat ini akan menyebabkan lisisnya bakteri
akibat dehidrasi yang berat karena efek osmosis.
Faktor yang kedua adalah pH madu yang bersifat
asam berkisar antara 3,2 – 4,5 sehingga akan menghambat metabolisme bakteri Salmonella
typhi, dengan terhambatnya metabolisme bakteri menyebabkan bakteri mudah
mengalami lisis, sehingga akhirnya dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonnela
typhi. Sedangkan untuk tumbuh dan berkembang biak secara optimum bakteri Salmonella
typhi perlu pH 6-8.
Faktor yang ketiga adalah adanya kandungan
hidrogen peroksida yang bersifat sitotoksik bagi sel bakteri. Proses
antimikroba dari hidrogen peroksidase karena kemampuan pengoksidasian serta
formasi radikal bebas hidroksil yang lebih toksik dari peroksida, sehingga
memudahkan terjadinya kerusakan sel-sel bakteri.
Faktor yang lain adalah karena kandungan
nutrisi dan gizi yang terdapat dalam madu sehingga mampu meningkatkan imunitas
tubuh apabila digunakan secara in vivo. Madu banyak mengandung vitamin
B2, B3, B6, C, K, karoten, biotin, dan lain-lain; dimana bahan-bahan tersebut
dapat meningkatkan ketahanan tubuh terhadap infeksi bakteri. Faktor-faktor antimikroba
tersebut tidak menutup kemungkinan juga diperkuat oleh faktor-faktor lain dalam
madu yang mendukung sifat antimikroba madu.
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah
dijelaskan, maka hipotesis yang diajukan telah terbukti, yaitu madu efektif
sebagai antimikroba terhadap bakteri Salmonella typhi dan ada pengaruh
berbagai konsentrasi madu terhadap pertumbuhan koloni Salmonella typhi dimana
semakin tinggi konsentrasi madu semakin rendah pertumbuhan koloni Salmonella
typhi.
Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa
madu memiliki peluang untuk digunakan sebagai pengobatan infeksi yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi khususnya demam tifoid.
Mekanisme madu dalam penyembuhan infeksi ini selain karena sifat antimikrobanya
juga karena kemampuannya dalam meningkatkan stamina tubuh sehingga dapat
membantu meringankan penderita. Namun perlu penelitian lebih lanjut mengenai
efektifitas madu sebagai antimikroba terhadap Salmonella typhi secara in
vivo. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk
penelitian selanjutnya dalam membahas tentang faktor-faktor lain yang
terkandung dalam madu yang mendukung efek antimikroba terutama terhadap
bakteri-bakteri yang Multi Drug Resistant.
BAB
VI
PENUTUP
VI.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa :
1.
Madu terbukti efektif sebagai antimikroba
terhadap bakteri Salmonella typhi.
2. Semakin
tinggi konsentrasi madu maka makin rendah pertumbuhan koloni Salmonella
typhi.
3.
Kadar Hambat Minimal (KHM) larutan madu
tidak dapat ditentukan karena suspensi larutan madu sudah bersifat keruh,
sedangkan Kadar Bunuh Minimal (KBM) larutan madu terhadap pertumbuhan bakteri Salmonella
typhi adalah konsentrasi 18 %.
VI.2
Saran
Sebaiknya dilakukan
penelitian lanjut tentang uji efektifitas madu sebagai antimikroba secara in
vivo.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya. Surat An-Nahl ayat 68-69.
Depag RI. Jakarta. 1990.
Anonymous.
Active Manuka Honey Research. 2002 http://www.natures_fix.com/research.htm diakses
pada tanggal 1 Maret 2005.
Anonymous.
Definition of Honey and Honey Product. 2003 http://www.nhb/foodtech/defdoc.html
diakses tanggal 1 Maret 2005.
Anonymous.Composition
of Honey. http://www.kohala.net/bees/composition.html diakses
tanggal 1 Maret 2005.
Baron, Ellen Jo., et
al. Balley & Scott’s Diagnostic Microbiology, 9th Edition.
Mosby-Year Book, Inc. New York. 1994.
Bhat,
KG. Effect of Honey on Bacteria Isolated from Burn Wound Infection, an
invitro study. Biomedicine. 1998.
Bhutta
ZA, Khan IA, Molla AM. Therapy of multidrug-resistant typhoid fever with
oral cefixime vs. intravenous ceftriaxone. Pediatr Infect Dis J 1994.
Bhutta
ZA. MDR Typhoid: a potential algorithmic approach to diagnosis and
management. Dipresentasikan pada Third Asia-Pacific Symposium on Typhoid
Fever and Other almonellosis. Bali, 11 Desember 1997.
Bonang, Koeswardono
ES. Mikrobiologi Kedokteran untuk Laboratorium dan Klinik. Gramedia.
Jakarta. 1987.
Corcoran
JW, Shulman ST. Molecular biology of sensitivity and resistance to antimicrobial
agents. Dalam The Biology & Clinical Basis of Infectious Diseases, Shulman,
Phair, Sommers penyunting.Philadelphia, Tokyo, WB Saunders Company, edisi
keempat 1992.
Endang
S. Madu, Cairan Emas Kaya Antioksidan. http://www.cyberwoman.cbn.net.id/detilhit:asp?kategori=health&news
diakses tanggal 1 Maret 2005.
Finegold
SM, et al. Diagnostic Microbiolog7th Edition. The CV Mosby
Company. St Luis Toronto Prington. 1986.
Girgis
NI, Sultan Y, Hammad O, Farid ZH. Comparison of the efficacy, safety and
cost of cefixime, ceftriaxone, and aztreonam in the treatment of
multidrug-resistant Salmonella typhi septicemia in children. Pediatr Infect
Dis J 1995.
Handoko,
I. S. Demam Tifoid. Klinikku. 2004 http://www.klinikku.com/pustaka/medis/inf/tifoid.html
diakses tanggal 1 Maret 2005.
Heritage.
J, et al. Introductory Microbiology. University Press. Cambridge. 2000.http://www.papdi.or.id/imunisasi//demam_tifoid_dan_imunisasi_terha.htm
diakses tanggal 1 Maret 2005.
Jawetz,
Melnick, Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran edisi 20. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta. 1996.
Leigh,
et al. What’s the Buzz? Medicine from The Bee Hive. 2001 http://healthwell.com diakses tanggal 1 Maret 2005.
Lukito, H. Rancangan
Percobaan, Suatu Pengantar. IKIP Malang. Malang. 1998.
Mirza
SH. The prevalence and clinical features of multi-drug resistant Salmonella typhi
infections in Baluchistan, Pakistan. Ann Trop Med and Parasitol 1995.
Molan P.
The Antibacterial Activity of Honey, The Nature of Antibacterial Activity.
Bee world. 1992 http://www.biowaikatoac.nz/honey_intro.shtm l.7k diakses
pada tanggal 1 Maret 2005.
Murray PR, et al. Manual of Clinical Microbiology 7th edition.
ASM Press.
Narain, H. P. Demam Tifoid dan Imunisasi terhadap Penyakit ini.
PAPDI. 2004
Nzeako,
Hamdi. Antimicrobial Potential of Honey on Some Microbial Issolates. Sultan
Qaboos University. Saudi Arabia. 2000 http:/wwwi_sis.org.uk/honey.beatssuperbugs.php
diakses pada tanggal 1 Maret 2005.
Osman,
Mansour. Honey Compound for Wound Care a Preliminary Report. Annals of Burn
and Fire Disaster. Vol XVI. 2003 http://www.medbc.com/annals/review/volxvi/numb3/text/24k
diakses tanggal 1 Maret 2005.
Pelczar,
MJ. Elements of Microbiology. Mc Graw-Hill International Book Company. Tokyo.
1981.
Persatuan
Ahli Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Pertama.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 1996.
Samatan,
Y, EY. Uji Efek Madu Sebagai Antimikroba terhadap Pseudomonas aerogenosa.
Tugas Akhir. FKUB. Malang. 2002.
Sarah
JG. Do Bees Know Something That We Don’t?. California State Sceince.
USA. 2002 http:/www.usc.edu/cssf/history.2003/projects/s1310pdf diakses
tanggal 1 Maret 2005.
Staf
Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Mikrobologi Kedokteran.
Edisi Revisi. Binarupa Aksara. Jakarta. 1994.
Staf
Pengajar IKA FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Cetakan Ketujuh. Info Medika.
Jakarta.1997.
Stefan
B. Antibacterial Substance in Honey. Swiss Bee Research Centre.
Switzerland.1997.http://www.squ.edu.com/mj/archive/oct00/honey/hoey.pdf diakses
tanggal 1 Maret 2005.
Stern,
K. R. Introductory Plant Biology, 8th Edition. Mc Graw Hill Company.
USA. 2000.
Sumoprastowo
A. Beternak Lebah Madu Modern. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. 1980.
Suriawiria, HU. Madu
untuk Kesehatan, Kebugaran dan Kecantikan. Papas Sinar Sinanti. Jakarta.
2000.
Tortora,
G. J, et al. Microbiology An Introduction 7th Edition. Benjamin Cumming
an imprint of Eddison Wesley. USA. 2001.
Washington DC. 1999.
Wolfgang K, et al. Zinsser
Microbiology 20th Edition. Appleton Lange Prentice Hall International, Inc.
London. 1992.
terimakasih nih pembahasannya...
BalasHapus